Resiko Pemeriksaan Transfer Pricing Documentaion
Seiring dengan berkembangnya era globalisasi, perdagangan internasional memberikan dampak signifikan kepada ekonomi suatu negara, ekonomi suatu kawasan,maupun ekonomi dunia secara keseluruhan. Perkembangan yang cepat dalam hal teknologi, transportasi dan komunikasi telah mendorong meningkatnya perdagangan internasional. Perusahaan multinasional sebagai pelaku perdagangan internasional memanfaatkan perkembangan teknologi, transportasi, dan komunikasi untuk menjalankan grup usahanya di beberapa negara. Dengan menjalankan usaha di beberapa negara, perusahaan multinasional mendapatkan keuntungan atas skala ekonomi terhadap barang yang diproduksi/dijual, memperluas pangsa pasar sekaligus meningkatkan efisiensi dalam manajemen rantai suplai (supply chain management) untuk grup usaha secara keseluruhan.
Pada umumnya, perusahaan grup melakukan fungsi-fungsi rantai suplai melalui beberapa perusahaan secara terintegrasi dan global. Dalam melakukan fungsi-fungsi rantai suplai, perusahaan grup dapat memilih untuk melakukannya secara mandiri atau melalui outsourcing ke pihak independen.
Mengingat bahwa perusahaan multinasional melakukan operasi di beberapa negara yang memiliki ketentuan dan tarif pajak yang berbeda-beda, terdapat risiko bagi administrasi perpajakan di setiap negara tentang adanya kemungkinan upaya penghindaran pajak melalui transaksi yang terjadi antara perusahaan multinasional yang tergabung dalam suatu grup usaha yang berkedudukan di negara yang berbeda. Pada umumnya, upaya penghindaran pajak dapat dilakukan antara lain dengan melakukan penggeseran laba (profit shifting) dari suatu negara ke negara yang lain melalui transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa yang berkedudukan di negara yang berbeda. Penggeseran laba juga dapat terjadi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan isitimewa yang berkedudukan di negara yang sama dengan cara memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain, dalam hal perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha tertentu.
Secara universal, transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dalam satu grup usaha dikenal sebagai transaksi afiliasi. Sedangkan harga yang ditentukan dalam transaksi afiliasi secara umum dikenal sebagai penentuan harga transfer.
Di Indonesia, salah satu prosedur yang harus dilakukan otoritas pajak dalam pemeriksaan transfer pricing adalah mengidentifikasi risiko transaksi afiliasi wajib pajak. Dokumen induk dan dokumen lokal yang dibuat wajib pajak akan menjadi informasi penting untuk menganalisis rantai pembentukan nilai (value chain) dalam grup usaha wajib pajak.
Tujuh risiko transfer pricing yang berpotensi untuk dilakukan pemeriksaan :
- Wajib pajak mempunyai transaksi dengan lawan transaksi berkedudukan di negara yang menerapkan tarif pajak efektif lebih rendah. Contohnya yaitu : memindahkan subjek pajak atau objek pajak (transfer or tax subject) ke negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
- Terdapat indikasi terjadinya skema transaksi yang melibatkan entitas/pihak yang tidak memiliki substansi usaha dan/atau tidak menambahkan nilai ekonomis apapun (reinvoicing).
- Wajib pajak mempunyai nilai transaksi afiliasi yang signifikan terhadap total peredaran usahanya ataupun laba bersih usaha. Sumber informasi yang dapat digunakan antara lain : laporan keuangan tahunan dan/atau prospektus dari principal ataupun holding perusahaan grup, company profile perusahaan grup, serta media informasi lainnya yang tersedia di internet ataupun database.
- Terdapat transaksi keuangan jasa intra-group seperti pemberian jasa, pembayaran royalti, cost contribution arrangement, dan lain-lain. Jasa intra-group adalah aktivitas yang diberikan oleh suatu pihak dalam suatu grup usaha yang memberikan manfaat bagi satu atau lebih anggota lain dalam grup usahanya. Dalam menilai apakah suatu transaksi intra-group dapat dikatakan wajar atau tidak, terdapat dua aspek mendasar yang bisa menjadi acuan saat menetapkan harga jasa intra-group. Aspek pertama berkaitan dengan pembuktian atas eksistensi dan manfaat jasa yang diberikan kepada pihak terkait. Aspek kedua yang perlu ditentukan yaitu kewajaran nilai remunerasi jasa tersebut. Keberadaan transaksi penyerahan jasa intra-group diakui apabila jasa tersebut memberikan manfaat ekonomi atau nilai komersial yang meningkatkan posisi komersial perusahaan penerima jasa. Hal ini dapat ditentukan dengan mempertimbangkan apakah pihak independen dalam kondisi sebanding akan bersedia membayar pihak independen atau melakukan sendiri aktivitas penyediaan jasa tersebut (inhouse). Pembayaran royalti, biaya manajemen dan pembayaran premi asuransi akan berisiko tinggi bagi perusahaan karena transaksi tersebut dapat menimbulkan kebocoran penerimaan pajak, terutama yang dilakukan ke negara dengan tarif pajak lebih rendah. Pemanfaatan harta tak berwujud seperti merk dagang, hak cipta dan paten merupakan aset yang sulit untuk dinilai, sulit dalam identifikasi biaya penelitian dan pengembangan, serta sulit untuk memperkirakan laba dari transfer aset tidak berwujud tersebut. Pemeriksa pajak biasanya akan fokus pada sifat transaksi keuangan intra-group ini,apakah pengurang pajak penghasilan (deductible or non deductible expenses) atau karakterisasi dari instrumen keuangan tersebut. Pemeriksa pajak akan memakai informasi tersebut sebagai bagian dari penilaian profil risiko wajib pajak.
- Terdapat transaksi afiliasi yang tidak rutin, misalnya : restrukturisasi usaha seperti merger,akuisisi dan penjualan intangible property. Apabila kerugian terus terjadi, maka grup multinasional mungkin melakukan restrukturisasi untuk mengurangi biaya. Sebagai contoh, suatu grup dapat memutuskan untuk menutup operasinya di salah satu negara. Apabila demikian, kompensasi yang wajar atas laba potensial di masa mendatang harus diberikan untuk perusahaan yang ditutup. Atau sebaliknya, perusahaan yang ditunjuk untuk mengambil alih perusahaan yang mengalami kerugian justru merupakan pihak yang perlu diberikan kompensasi. Jadi, diperlukan analisa pihak mana yang bertanggung jawab untuk menanggung biaya-biaya tersebut sesuai dengan arm’s length principle. Masalah transfer pricing terkait dengan restrukturisasi bisnis bisa sangat kompleks sehingga risiko yang ditimbulkan juga tinggi. Hal ini disebabkan transfer aset restrukturisasi sulit untuk dinilai dan masalah dalam penentuan harga transfer lainnya. Restrukturisasi bisnis suatu grup usaha harus diidentifikasi dan dijelaskan secara komprehensif dalam dokumen induk (master file documentation).
- Performa keuangan wajib pajak lebih rendah jika dibandingkan dengan perusahaan lainnya dalam industri sejenis. Pemeriksa pajak dapat melakukan penelitian melalui website atau database komersial. Perusahaan menanggung risiko transfer pricing yang tinggi ketika rasio profitabilitas perusahaan dinyatakan di luar rentang dibandingkan dengan perusahaan yang bergerak dalam industri yang sama. Selain itu, perusahaan juga harus menanggung risiko yang tinggi ketika perusahaan atau grup secara keseluruhan mengalami kerugian dan ketika perusahaan melakukan pengalihan keuntungan ke yurisdiksi pajak dengan tarif yang lebih rendah.
- Wajib pajak mengalami kerugian selama 3 (tiga) tahun pajak dalam jangka waktu 5 tahun. Risiko pemeriksaan transfer pricing dapat dideteksi, salah satunya melalui Laporan Per Negara (Country-by-Country Reports/CbCR). Wajib pajak harus memastikan apakah kerugian diakibatkan faktor eksternal seperti keadaan ekonomi dan industri, atau sebab lain misalnya transaksi afiliasi. Namun, yang jadi tantangan adalah bagaimana menjelaskan kepada otoritas pajak bahwa kerugian itu memang harus ditanggung wajib pajak.
Transfer pricing merupakan konsekuensi logis dari strategi grup perusahaan yang bertujuan untuk menciptakan keunggulan kompetitif melalui sinergi antar afiliasi. Transfer pricing baru dianggap manipulatif jika transaksi afiliasi itu mempunyai motif menghindari beban pajak global.
Terhadap manipulasi tersebut, otoritas pajak hanya berwenang melakukan koreksi jika harga atau laba atas transaksi itu tidak wajar. Dalam praktiknya, upaya menentukan apa dan berapa yang disebut wajar inilah yang kerap menimbulkan sengketa. Hal tersebut terjadi karena dua hal, yaitu :
Pertama, harga atau laba perusahaan pembanding untuk menguji kewajaran transaksi antar afiliasi. Pada kenyataannya, sulit untuk menemukan pembanding yang sempurna baik dari sisi karakteristik produk, value chain, volume, strategi bisnis, hingga geografis.
Kedua, upaya menentukan harga atau laba yang wajar bukan merupakan ilmu pasti, sehingga proses tersebut sering menimbulkan perdebatan dan sengketa. Apa yang dianggap wajar otoritas pajak maupun wajib pajak seringkali bersifat sewenang-wenang (arbitrary).
Untuk menyelesaikan perdebatan itu, OECD menyarankan menggunakan rentang kewajaran secara statistik dan bukan pendekatan melalui harga atau laba tunggal. Hal tersebut direkomendasikan guna memudahkan pencarian titik temu dan merefleksikan minimnya pembanding yang sempurna.
Sementara itu, fokus utama bagi otoritas pajak Indonesia dalam melakukan pemeriksaan transfer pricing adalah perusahaan multinasional yang mengalami kerugian serta perusahaan yang membukukan nilai lebih bayar dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan.
Beberapa pendekatan yang dipakai oleh otoritas pajak yaitu :
- Laba wajar atas penjualan ke perusahaan perantara.
Wajib pajak harus membuktikan bahwa harga jual yang dibuat atas penjualan kepada perusahaan perantara harus menggunakan harga wajar, dimana metode resale price (harga jual kembali) dapat menjadi metode transfer pricing yang paling tepat untuk menguji berapa harga wajar kepada perusahaan yang terafiliasi. Permasalahannya adalah diperlukan informasi atas harga jual dari grup usaha, yang umumnya merupakan sales company seperti di negara lain, dimana informasi harga jual dari perusahaan perantara kepada pembeli akhir tidak selalu tersedia atau diperoleh DJP.
2. Laba wajar atas perusahaan jasa maklon.
Wajib pajak harus menentukan metode transfer pricing apa yang paling tepat untuk menentukan laba wajar atas perusahaan jasa maklon dimana barang yang diolah, dalam proses manufacturing, bukanlah barang milik wajib pajak namun milik pengguna jasa sehingga jika tidak ada informasi atas harga bahan baku, barang setengah jadi, bahan penolong/pembantu yang digunakan akan sulit ditentukan perhitungan laba wajar karena yang diberikan adalah jasa dan tidak berupa kegiatan produksi. Hal ini juga berakibat perusahaan pembanding yang paling tepat mungkin adalah perusahaan jasa maklon contohnya bila metode transferpricing yang tepat adalah Transactional Net Margin Method (TNMM) yang menggunakan Profit Level Indicator.
Apabila wajib pajak yang digolongkan perusahaan jasa maklon mengalami kerugian, DJP dapat saja menggunakan metode profit split untuk menghitung laba wajar perusahaan tersebut meskipun diperlukan informasi keuangan dari grup usaha yang merupakan penerima jasa maklon tersebut.
3. Laba wajar atas perusahaan sumber daya alam.
Harga wajar ditentukan oleh contract price atau spot price yang menjadi harga acuan dari harga jual wajib pajak seperti batubara, sawit atau nikel. Jika metode CUP dapat digunakan sebagai metode transfer pricing yang paling tepat maka mungkin diperlukan verifikasi dari pihak ketiga untuk memastikan bahwa harga pembanding yang digunakan adalah harga yang wajar.
Dalam banyak kasus, sengketa perpajakan internasional kerap terjadi karena perbedaan fiskus dan wajib pajak dalam menginterpretasikan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty dan/atau melakukan penetapan harga transfer (transfer pricing) atas transaksi dengan pihak terafiliasi (affiliated parties) lintas yurisdiksi. Penyelesaiannya sejauh ini lebih banyak diselesaikan melalui proses keberatan atau banding (domestic remedies).
Dalam prosesnya, keberatan dan banding bisa memakan waktu yang tidak sebentar dan tidak jarang membutuhkan ongkos perkara yang juga tidak murah. Sebagai ilustrasi, wajib pajak harus menunggu keputusan otoritas pajak atas keberatan yang diajukannya sampai 12 (dua belas) bulan. Jika kantor pajak dalam putusannya menolak keberatan atau memberikan keputusan tidak sesuai harapan, wajib pajak dalam menempuh proses hukum lanjutan dengan mengajukan banding ke pengadilan pajak. Jangka waktu pengajuan permohonan banding adalah 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima wajib pajak. Meskipun sidang pemeriksaan perkara banding di pengadilan pajak paling lama 15 (lima belas) bulan sejak banding diajukan, namun penerbitan keputusannya bisa melebihi jangka waktu tersebut.
Apabila permohonan banding ditolak atau hanya dikabulkan sebagian, wajib pajak akan dikenai sanksi administrasi tambahan berupa denda 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding, yang tidak dibayar sebelum pengajuan keberatan.
blog comments powered by Disqus